Dayah Darussalam, Gambaran Kesejukan Islam Di ‘Serambi Makkah’
Terik matahari dan suhu panas yang menyengat menjadi tidak terasa, ketika kita melihat kebun di depan pesantren yang rapi dan indah, ditambah lalu-lalang komunitas bersarung dan berbusana muslim. Di bagian yang lain, sekerumunan dari mereka sedang duduk sambil mendengarkan pengajian dari sang kyai, sambil menggoreskan tulisan berbahasa Arab latin pada kitab-kitab yang mereka pegang.
Ketika memasuki area pesantren, kita akan disuguhi dengan suasana islami yang begitu kental. Mulai dari gaya bangunan, cara berpakaian santri, hingga tingkah-laku santri yang santun. Tak heran jika saat itu, beberapa santri yang masih kecil duduk menunggu shalat dzuhur berjamaah sambil membaca Kalam Ilahi. Dengan suara yang merdu dan mendayu-dayu, mereka siap menyajikan ketenangan jiwa dan rasa rindu kepada Ilahi bagi setiap pendengarnya.
Berdirinya Pesantren
Pesantren yang dirintis sejak abad 19 ini, tepatnya pada tahun 1942 H, didirikan oleh seorang ulama karismatik dari Kota Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan. Beliau bernama Syech Haji Muhammad Muda Waly al-Khalidy, atau biasa dipanggil Syech Muda Waly. Pesantren ini diberi nama Dayah (baca: Pesantren) Darussalam. Tergolong sebagai dayah tertua di Nanggro Aceh Darussalam. Dayah ini menjadi pusat kajian ilmu tauhid dan tasawuf Aceh Selatan bagian barat. Hingga saat ini, dayah ini tetap lestari. Bahkan, guna melahirkan umat yang patuh terhadap agama, pengajian senantiasa digelar. Seperti beberapa dayah di tempat lain, Darussalam telah melahirkan ribuan teungku (ulama) yang tersebar di Tanah Air dan mancanegara. Bahkan, hampir seluruh pimpinan dayah-dayah di Aceh pernah menimba ilmu di Dayah Darussalam.
Saking tersohornya, ada satu lagu daerah Aceh yang sengaja digubah dan dinyanyikan oleh penyanyi kondang Syah Luthan sebagai persembahan bagi dayah ini. Penggalan lagu itu berbunyi:
Naksu ke malem jak Labuhan Haji,
Naksu meutani u Nilam Jaya.
Naksu meudagang jak u Blang Pidie,
Naksu ke campli u Kuta Faja.
Bait pertama lagu di atas memiliki arti, “Jika mau jadi orang alim (ulama), pergilah belajar di Dayah Darussalam Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan”. Itulah mengapa, antara Dayah Darussalam dan Labuhan Haji tidak bisa dipisahkan layaknya dua sisi mata uang. Jika menyebut Kota Labuhan Haji, maka terbayang pula pusat pengajian agama Islam terkenal bernama Dayah Darussalam, yang didirikan oleh ulama’ terkenal Syech Muda Waly.
Syech Muda Waly
Sejak kecil, beliau dikenal sebagai pribadi yang unik dan cerdas. Beliau lahir pada tahun 1917 di Blang Poroh, persis di lokasi didirikannya Dayah Darussalam sekarang. Nama kecilnya semula yaitu Angku Mudoatau Teungku Muda atau Muhammad Waly. Para santri dan masyarakat umum lainnya memanggil beliau dengan sebutan Abuya atau Buya yang artinya tidak lain adalah guru. Namun, setelah belajar agama di berbagai perguruan tinggi Islam, termasuk di Mekkah, Arab Saudi, nama lengkapnya menjadi Tgk. Syech H. Muhammad Waly Al-Khalidy.
Penelusuran terhadap jejak dan liku-liku perjalanan dan perjuangan Syech Muda Waly sangatlah unik. Hanya dalam usia kurang dari setengah abad, Syech Muda Waly berhasil meletakkan dasar-dasar pengembangan ajaran agama yang benar, sesuai ajaran Rasulullah Saw tentang islam, iman, dan ihsan.
Ihsan menyangkut akhlak kita kepada Allah Swt dan sesama manusia, yang lebih dikenal dengan sebutan tasawuf. Islam, sebagaimana kita ketahui, menyangkut pengamalan dan kewajiban sebagai muslim seperti rukun Islam yang lima. Sedangkan Iman yaitu pengamalan rukun iman, sebagaimana diuraikan Abuya Prof. Muhibbuddin Waly dalam Al-Hikam, Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf.
Atas dasar inilah, ulama kharismatik itu begitu teguh, kukuh, dan istiqamah mengimplementasikan ketiga macam prinsip tersebut sesuai dengan sunnah Nabi. Maka, tidak mengherankan jika Syech Muda Waly bukan hanya komitmen dan konsisten mengamalkan ketiganya, melainkan justru menerapkan kepada umat dan murid-muridnya secara serempak atau sekaligus. Barangkali, inilah salah satu karamah Syech Muda Waly yang jarang dimiliki ulama lain.
Pesantren dan Thariqat Naqsyabandiyah
Yang menjadi pembeda antara Dayah Darussalam dengan dayah-dayah lain di Aceh adalah berdirinya Thariqat Naqsyabandiyah, yang pertama kali dikembangkan oleh Syech Haji Muhammad Muda Waly al-Khalidy. Sampai sekarang, amalannya masih dikerjakan ribuan santri serta jamaahnya di Aceh, bahkan di wilayah lain di Nusantara.
Di bulan Ramadhan misalnya, tak kurang seribu santri serta jamaah dari berbagai daerah di Aceh, tumpah ke dayah itu. Selain memperdalam ilmu Agama, mereka pun larut dalam ritual yang disebut suluk atau berkhalawat. Inilah salah satu amalan Thariqot Naqsyabandiyah.
Mereka bermujahadah dalam menghadapi hawa nafsu, melalui zikir dan ibadah yang diajarkan Mursyid. Syekh Muda Waly berpendapat, untuk melahirkan seorang ulama, tak cukup sekedar mengajarkan ilmu fiqih, tauhid, tafsir Alquran, dan hadits. Mereka harus dibekali dengan perjalanan dan pergulatan batin yang suci dari pengaruh duniawi. Salah satu mediasinya melalui pelaksanaan thariqat.
Rantai Kepemimpinan
Lazimnya sebuah pesantren, regenerasi kepemimpinan kiai biasanya diwariskan kepada putranya. Tak berbeda dengan Dayah Darussalam. Setelah wafatnya Syech Muda Waly tahun 1961 dalam usia 44 tahun, kepengasuhan Dayah diberikan kepada putranya Abuya Muhibbudin Waly, hingga beliau wafat pada 7 Maret 2012. Saat ini, kepengasuhan dayah ini dipercayakan kepada Abuya Jamaluddin Waly.
Abuya Jamaluddin Waly juga terpilih sebagai Mursyid al-Amm Thariqot Naqsyabandiyah se-Aceh, di mana sebelumnya beliau telah melibatkan diri dalam thariqat tersebut. Ulama lain yang juga diangkat sebagai Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah di Dayah Darussalam, antara lain Teungku Haji Adnan Mahmud Bakongan, Teungku Haji Abdul Hamid Meulaboh, dan Teungku Haji Hasan Abati Lamno.
Begitulah Abuya Jamaluddin Waly, ulama kharismatik yang melanjutkan pengembangan Thariqat Naqsyabandiyah. Saat ini, beliau juga tercatat sebagai Ketua Majelis Zikir Al-Waliyah Aceh, dosen tetap di Dayah Manyang atau Dayah Tinggi di Masjid Raya Baiturrahman, dan sekaligus pengasuh Kajian Islam Tingkat Tinggi di Masjid Islamic Center Lhokseumawe, sebagaimana Abuya Muhibbudin Waly semasa hidupnya.
Kesejukan bagi Masyarakat Sekitar
Literatur kebiasaan pesantren yang begitu islami baik dalam hal ‘ubudiyah, pengajian rutin, akhlaq dan yang lainnya, juga turut dirasakan masyarakat sekitar Dayah Darussalam. Banyak dari mereka yang mengikuti kegiatan pesantren seperti pengajian kitab juga amalan-amalan dalam Thariqot Naqsyabandiyah yang biasa menjadi wiridan. Jika berada di Labuhan Haji, kita akan menjumpai masyarakat yang begitu santun dalam aktifitas keseharian mereka. Tidak hanya itu, Ukhuwah Islamiyah juga terjalin begitu manis, hingga gambaran kota ‘Serambi Makkah Nanggro Aceh Darussalam’ dengan sejuta aktifitas keislaman, begitu terpancar dengan jelas.
Masjid dan musholla semakin ramai dengan kegiatan-kegiatan bernuansa islami, seperti siraman rohani, baik dari tokoh masyarakat sendiri ataupun dari pesantren. Ada juga maulid, wiridan serta kegiatan lainnya. Semua itu tak luput dari perjuangan para ulama terdahulu yang berjuang gigih mengajarkan agama Islam, walau dalam keadaan yang sulit. Kita harus senantiasa mendoakan mereka, karena mereka adalah permata negeri ini dan pewaris para Nabi.
Sumber: Majalah Langitan/Wildan Shofa